Jumat, 07 Agustus 2009

Ilmu Harmoni : Pengertian dan Dasar Ilmu Harmoni Dalam Musik

Ilmu harmoni secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari harmoni


Posted by: kandangjago In: Ilmu Harmoni| Teori Musik

. Harmoni adalah keselarasan. Dalam teori musik, ilmu harmoni adalah ilmu yang mempelajari tentang keselarasan bunyi dalam musik.
Dalam beberapa bahasa, harmoni disebut armonía (Spanyol & Italia), harmonie (Perancis dan Jerman), zusammenklang (Jerman).
Beberapa Pengertian Ilmu Harmoni

* Ilmu harmoni adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara not/nada yang satu dengan nada yang lain pada saat didengarkan secara bersama-sama, sering digambarkan sebagai dimensi vertikal di dalam teori musik dimana melodi (cantus firmus atau counterpoint) disebut sebagai dimensi horisontal.
* Ilmu harmoni adalah ilmu yang mengajarkan cara mengkombinasikan atau menggabungkan not-not (nada-nada) secara simultan (serentak atau bersamaan) untuk menghasilkan akor (chord) dan mempelajari juga penggunaan akor secara berturut-turut untuk mendapatkan progresi atau pergerakan akor.
* Ilmu harmoni adalah salah satu cabang teori musik yang mempelajari cara menyusun suatu rangkaian not-not (nada-nada) menjadi rangkaian akor, agar bunyi dalam musik menjadi selaras dan enak didengar.

Dalam ilmu harmoni diajarkan tentang penggunaan nada secara bersamaan sehingga menghasilkan akor yang sesuai dalam suatu rangkaian atau jalinan pergerakan (progresi) pada suatu lagu, sehingga secara keseluruhan lagu tersebut akan terdengar sebagai musik yang selaras dan indah.

Sesuai dengan pengertian ilmu harmoni yang pertama di atas, dalam musik barat, harmoni mengacu kepada aspek musik secara vertikal, yaitu perpaduan beberapa nada dalam satu hitungan/ketukan secara serentak/bersamaan. Hal ini harus dibedakan dengan ide atau gagasan dalam musik yaitu melodi atau garis melodi lagu. Melodi lagu disebut juga sebagai aspek horisontal di dalam musik.
Teori Ilmu Harmoni Dasar

Ada beberapa hal dasar yang perlu diketahui dalam ilmu harmoni. Yang terutama adalah tonal system (sistem tonal) trisuara atau triad. Jika kita menyusun tiga nada yang masing-masing berjarak terts (terts besar (Major Third/M3) atau terts kecil (Minor Third/m3)) dari nada alasnya/nada rootnya atau kemudian sering disebut sebagai nada bas, maka akan diperoleh akor yang disebut trisuara atau triad. Konsep ini adalah konsep dasar pembentukan akor dalam ilmu harmoni klasik.

Seorang komposer berpeluang juga untuk membentuk kemungkinan kombinasi tidak berdasarkan susunan interval terts diatas. Seorang komposer kontemporer saat ini membentuk struktur susunan nada dalam sistem tonalnya pada interval kwart (Perfect Fourth/P4 dan Augmented Fourth/A4), interval kwint (Perfect Fifth/P5 dan Diminished Fifth/d5), interval second (Major Second/M2 dan Minor Second/m2) dan lain sebagainya.

Sebagai landasan dalam tradisi musik yang diwariskan dari musik barat, maka akor dalam tangga nada diatonis atau tangga nada mayor yang disusun berdasarkan sistem tonal trisuara atau triad akan membentuk akor mayor, akor minor, akor augmented dan akor diminished. Masing-masing akor memiliki fungsi sesuai dengan jenis dan posisinya pada tangga nada diatonis atau tangga nada mayor.
Untuk selanjutnya, akan saya bahas secara lebih mendalam tentang pengertian akor berdasarkan fungsinya dalam satu tangga nada diatonis/mayor pada topik ilmu harmoni.

baca selengkapnya......

Peranan dan Fungsi Akor (Chord) : Teori Musik dan Ilmu Harmoni

peranan-chord Untuk memudahkan mempelajari peranan dan fungsi akor


Posted by: kandangjago In: Ilmu Harmoni| Teori Musik

peranan-chord Untuk memudahkan mempelajari peranan dan fungsi akor, maka saat kita mempelajari akor harus dibatasi pada satu tangga nada. Apa yang dimaksudkan dengan satu tangga nada? Yaitu berkaitan dengan cara mempelajari peranan dan fungsi akor, kita belajar dari satu jenis tangga nada saja. Ada beberapa jenis tangga nada, tapi yang paling sering digunakan adalah tangga nada mayor diatonis. Dan untuk semakin mempermudah juga, maka sebaiknya dibatasi pada satu kunci saja. Misal, pilih tangga nada mayor diatonis dengan kunci do sama dengan C atau natural.

Bagaimana dengan jenis tangga nada yang lain? Misalnya, tangga nada minor, tangga nada pentatonik, dan lain-lain. Tentu saja peranan dan fungsi akor untuk masing-masing jenis tangga nada akan berbeda. Tangga nada minor masih bisa dihubungkan secara persaudaraan dengan tangga nada mayor diatonis, tapi untuk tangga nada pentatonis, atau jenis tangga nada lain, akan memiliki teori musik yang berbeda juga. Tapi, kita tidak perlu khawatir dengan hal ini, karena sebagian besar lagu yang ada di dunia ini, kurang lebih sekitar 90% adalah lagu yang dibuat berdasarkan tangga nada mayor diatonis.

Di dalam ilmu harmoni klasik, berdasarkan teori musik dari barat, akor yang disusun dengan sistem tonal trisuara atau triad chord memiliki peranan dan fungsi akor masing-masing. Untuk lebih memudahkan dalam mempelajarinya, maka saya akan mulai menyebutkan nama akornya dalam satu wilayah tangga nada mayor diatonis yang paling mudah, yaitu tangga nada dengan kunci do sama dengan C atau natural.
Mengapa Kita Perlu Mempelajari Peranan dan Fungsi Akor ?

Peranan dan fungsi akor sangatlah penting di dalam ilmu harmoni. Lihat kembali artikel Ilmu Harmoni : Pengertian dan Dasar Ilmu Harmoni Dalam Musik. Dengan mempelajari dan mengetahui peranan dan fungsi akor, maka kita tidak akan ragu-ragu dalam memberikan nuansa bunyi musik pada suatu lagu.

Kita akan tahu benar bagaimana cara memberikan langkah-langkah akor (progresi akor atau chord progression), sifat-sifat akor, karakter akor dan warna bunyinya jika masuk atau menuju ke akor yang lain, memberikan jembatan akor dengan benar, bahkan jika kita juga ingin memberikan bunyi disonan, tanpa ragu-ragu kita masukkan saja akor disonan pada suatu lagu.

Mengapa? Karena kita sudah tahu aturannya, kita sudah tahu peranan dan fungsi dari masing-masing akor dalam ilmu harmoni.
Peranan dan Fungsi Akor

Peranan dan fungsi akor yang disusun berdasarkan trisuara atau triad chord dalam tangga nada mayor diatonis dengan kunci do=C adalah sebagai berikut :

* Akor Pertama (I) atau C Mayor (C-E-G) disebut sebagai Tonika (Tonic)
* Akor Kedua (II) atau D Minor (D-F-A) disebut sebagai Super Tonika (Super Tonic)
* Akor Ketiga (III) atau E Minor (E-G-B) disebut sebagai Median (Mediant)
* Akor Keempat (IV) atau F Mayor (F-A-C) disebut sebagai Sub Dominan (Sub Dominant)
* Akor Kelima (V) atau G Mayor (G-B-D) disebut sebagai Dominan (Dominant)
* Akor Keenam (VI) atau A Minor (A-C-E) disebut sebagai Sub Median (Sub Mediant)
* Akor Ketujuh (VII) atau B Half Diminished (B-D-F) disebut sebagai Leading Tone

Fungsi Akor : Akor Pokok

Jika kita melihat pembagian akor berdasarkan peranan dan fungsinya, maka kita akan bisa melihat 3 (tiga) macam jenis akor yang utama, yaitu akor mayor, akor minor, dan akor half diminished. Tiga akor mayor yang telah disebutkan di atas inilah yang disebut sebagai akor pokok atau akor utama (primary chords). Jadi sebagai akor pokok adalah Tonika, Sub Dominan, dan Dominan.

Untuk tangga nada dengan kunci do = C, maka akor pokoknya yang merupakan akor mayor adalah :

* Akor C Mayor yang berperan sebagai Tonika
* Akor F Mayor yang berperan sebagai Sub Dominan
* Akor G Mayor yang berperan sebagai Dominan

Untuk selanjutnya Tonika akan disingkat T, Sub Dominan disingkat S, dan Dominan disingkat D.

Akor pokok untuk tangga nada dengan kunci yang lain, adalah sebagai berikut :

* Misalnya, Do = G, maka G Mayor adalah sebagai T, C Mayor sebagai S dan D Mayor sebagai D.
* Misalnya, Do = D, maka D Mayor adalah sebagai T, G Mayor sebagai S dan A Mayor sebagai D.

Dari sini kita akan lebih mudah memahami peranan dan fungsi akor.

Mari kita lihat lebih mendalam, ternyata akor G Mayor bisa memiliki peranan dan fungsi yang berbeda jika terjadi perbedaan kunci tangga nadanya.

* Pada tangga nada dengan do = C, maka akor G Mayor berfungsi sebagai Dominan (D).
* Pada tangga nada dengan do = G, maka akor G Mayor berfungsi sebagai Tonika (T).
* Pada tangga nada dengan do = D, maka akor G Mayor berfungsi sebagai Sub Dominan (S).

Fungsi Akor : Akor Pembantu

Sedangkan akor minor dalam peranan dan fungsi akor di atas tadi, yaitu Super Tonika, Median dan Sub Median disebut sebagai akor pembantu. Pada beberapa teori musik dalam ilmu harmoni, penyebutan Super Tonika, Median dan Sub Median sebagai akor pembantu lebih disederhanakan berkaitan dengan peranan dan persaudaraannya dengan akor pokok.

Istilah yang lain tersebut adalah : (harus selalu diingat, yaitu saat mempelajari peranan dan fungsi akor harus hanya pada satu tangga nada mayor diatonis dalam satu kunci saja, kita ambil contoh dalam hal ini yaitu tangga nada mayor diatonis dengan kunci do = C)

* Super Tonika disebut sebagai Sub Dominan Pembantu (Sp), yaitu akor D Minor.
* Median disebut sebagai Dominan Pembantu (Dp), yaitu akor E Minor.
* Sub Median disebut sebagai Tonika Pembantu (Tp), yaitu akor A Minor.

Bagaimana untuk tangga nada dengan kunci yang lain?

* Misalnya, Do = G, maka A Minor adalah sebagai Super Tonika (Sp), B Minor sebagai Median (Dp) dan E Minor sebagai Sub Median (Tp).
* Misalnya, Do = F, maka G Minor adalah sebagai Super Tonika (Sp), A Minor sebagai Median (Dp) dan D Minor sebagai Sub Median (Tp).

Sehingga dapat kita lihat sebagai berikut :

* Pada tangga nada dengan do = C, maka akor A Minor berfungsi sebagai Sub Median atau Tp.
* Pada tangga nada dengan do = G, maka akor A Minor berfungsi sebagai Super Tonika atau Sp.
* Pada tangga nada dengan do = F, maka akor A Minor berfungsi sebagai Median atau Dp.

Sebagai satu kesimpulan untuk sementara dalam artikel ini, yaitu bahwa akor pokok atau akor utama atau primary chords bersifat akor mayor, dan dalam satu tangga nada mayor diatonis hanya ada 3 (tiga) akor saja, yaitu:

* Tonika
* Sub Dominan
* Dominan

Sedangkan akor pembantu bersifat akor minor dan juga hanya ada 3 (tiga) saja, yaitu :

* Super Tonika (Sub Dominan pembantu atau Sp)
* Median (Dominan pembantu atau Dp)
* Sub Median (Tonika pembantu atau Tp)


baca selengkapnya......

Minggu, 26 Juli 2009

Mendidik Guru Seni

BISAKAH seniman itu dicetak? Ini memang perdebatan klasik. Ada banyak orang yang yakin, seniman itu sulit dicetak kalau memang orangnya tidak punya talenta seni yang dibawanya sejak lahir. Apalagi kalau ia tumbuh di sebuah lingkungan yang jauh dari kawasan seni dan besar di masyarakat yang tidak begitu menghargai kesenian sebagai hal yang utama



Namun, banyak pula orang yang yakin, seniman itu bisa dicetak. Seseorang bisa diajari membuat ukiran, meskipun keluarga orang itu tak pernah bersentuhan dengan pahat ukir. Seseorang bisa diajari menari, meskipun ayah ibu dan nenek kakeknya tak pernah bisa menari. Seseorang bisa diasah kepekaannya soal seni sastra meski keluarganya tak pernah berurusan dengan seni sastra. Caranya adalah orang itu harus dikeluarkan dari habitat aslinya dan dididik secara intensif oleh guru yang mumpuni. Adapun berhasil atau tidaknya tergantung sejauh mana orang itu memang menekuni profesi yang bukan berasal dari keturunannya.

Sekolah khusus seni dan kursus-kursus seni adalah tempat untuk mencetak itu. Lalu, siapa gurunya? Tentu saja seniman yang sudah jadi. Tak mungkin mereka diajari oleh seniman yang belum mahir pada bidangnya. Bagaimana ilmu itu bisa diturunkan kalau gurunya saja meragukan?

Nah, persoalan besar dalam bidang menurunkan ilmu yang bersentuhan dengan dunia seni terletak pada metode pengajaran itu sendiri. Ada guru seni yang tak tahu bagaimana metode mengajar, karena mereka sendiri tergolong apa yang disebut seniman alam, tak pernah belajar sebelumnya. Ini banyak sekali ada di tengah-tengah masyarakat kita. Di pedesaan, orang-orang tua yang ahli mekidung dan megeguritan, tak bisa mengajarkan dengan praktis apa yang dikuasainya. Kalau ada yang minta belajar kepada mereka, calon muridnya itu disuruh menirukan saja apa yang mereka kuasai. Tentu saja berbeda jika guru itu punya konsep dan metode mengajar. Barangkali calon muridnya diajari cara menarik napas, menahan napas, memperdengarkan suara melalui saraf perut dan sebagainya untuk belajar mekidung. Ada teknik olah vokal yang biasa kita jumpai pada saat belajar menyanyi yang benar.

Lalu, siapa yang tahu metode itu dan siapa yang memberikan metode pengajaran itu kepada sang guru? Kalau ditarik ke atas, tentu saja jawabannya, guru itu sebelumnya juga berguru kepada seorang guru. Artinya, guru itu juga dicetak di sekolah khusus untuk itu. Ada institusi tersendiri yang menyelenggarakan pendidikan untuk itu.

Muara permasalahan ini akhirnya tertuju kepada sekolah atau perguruan yang mencetak guru-guru yang bergerak di bidang pengajaran seni. Kita tak banyak punya institusi seperti itu. Salah satu yang kita punyai adalah Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja. Kampus ini memang dikenal sebagai tempat mendidik calon-calon guru, untuk bidang apa saja, tak hanya bidang seni. Di kampus ini ada fakultas yang menangani bidang pendidikan guru yang berbasis seni, yakni Fakultas Bahasa dan Seni. Tempat inilah sesungguhnya kawah candradimuka untuk mendidik guru-guru yang akan menularkan bidang seni. Yang dididik di sini adalah betul-betul calon guru, bukan menjadikan mereka seniman praktisi.

Lalu, sejauh mana kampus di Bali Utara ini berkiprah untuk menggairahkan kehidupan seni di masyarakat? Ini yang bisa dipersoalkan. Apakah kampus seni itu hanya sekadar menara gading atau sudah berhasil menelorkan guru-guru seni yang berdampak positif di masyarakat? Ini yang sulit mencari jawabannya.

Orang yang masuk ke Undiksha, sebagaimana umumnya orang yang kuliah di perguruan tinggi, tentu ingin mendapatkan ilmu yang bisa dijadikan sandaran kerja setelah lulus di perguruan tinggi itu. Lulusan Undiksha tentu sangat berharap untuk diangkat menjadi guru, dalam pengertian yang formal, ada ruang kelas di mana seorang guru mengajarkan ilmu kepada beberapa muridnya. Bukan guru yang tidak formal, misalnya, mengajar di kursus-kursus atau sanggar-sanggar yang kehidupannya tidak mapan. Sementara kita tahu, murid-murid di sekolah formal, katakanlah itu SD, SLTP, SMA dan yang sederajat, punya minat yang berbeda-beda. Ada yang suka matematika, ada yang suka olah raga, ada yang suka seni. Seorang guru seni di sekolah itu mengajar kepada semua murid tanpa membedakan minat para murid. Ini yang membuat keberhasilan guru seni seolah-olah tidak ada artinya karena beragamnya minat para murid. Alhasil, guru seni di sekolah formal itu hanya terbatas memberikan wawasan seni kepada muridnya. Berbeda dengan sanggar atau kursus seni yang memberikan praktik secara langsung.

Kita bisa mengamati secara langsung di masyarakat. Kalau ada sanggar teater, seberapa banyakkah alumni Undiksha yang terlibat di sana? Apalagi kalau itu sanggar tari, pasti pengajar yang terlibat di sana lebih banyak lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), perguruan tinggi yang mencetak seniman tari, dan bukan mencetak guru tari. Demikian halnya dunia seni yang bersentuhan dengan sastra dan bahasa, sulit sekali untuk mencari korelasi antara kegairahan seni ini dikaitkan dengan keberhasilan atau kegagalan pendidikan di Undiksha. Namun, kampus seperti Undiksha tetap dibutuhkan, karena dari sini lahir guru-guru (termasuk guru seni) yang punya metode dan konsep pengajaran yang benar.

* Putu Setia

baca selengkapnya......

Pendidikan Seni di Sekolah, Memprihatinkan!

Di sekolah-sekolah seperti SD, SMP, dan SMU, kesenian termasuk salah satu pelajaran wajib dalam kurikulum formal. Sayang, pendidikan kesenian ini seolah kehilangan dukungan, arah dan orientasi utamanya
by Mh. Nurul Huda


Orientasi utama pendidikan seni di sekolah-sekolah antara lain untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat mendukung kelestarian suatu tradisi. Nilai-nilai ini bisa meliputi sejarah, adat-istiadat, tata susila, dan spirit dalam suatu karya seni. Karena itu, seperti pernah ditulis oleh Juju Masunah (2003) mengenai pendidikan seni di sekolah formal, pendidikan seni di sanggar amat berbeda dengan di sekolah-sekolah. Bila dalam sanggar lebih ditekankan penguasaan ketrampilan yang mengarah pada keahlian dan profesionalisme, pendidikan seni di sekolah formal bertujuan menumbuhkan kepekaan rasa estetis dan budaya serta pengalaman kreatif yang berfungsi membantu perkembangan siswa dari segi intelektual, emosional, dan spiritualnya.

Pemahaman semacam inilah yang kerapkali disalah mengerti oleh berbagai praktisi dan pejabat di lingkungan dinas pendidikan di berbagai daerah. Pendidikan seni di sekolah cenderung diorientasikan untuk kepentingan pertunjukan dan pariwisata.

“Melalui pendidikan di sekolah, berbagai kesenian itu diharapkan bisa diterima pasar dan menunjang pariwisata,” ujar Drs Suwardi, Kepala seksi kurikulum Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan. Lebih lanjut ia menandaskan kebijakan yang diambilnya merupakan kelanjutan dari kebijakan “link and match” yang pernah digariskan oleh mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Kabinet Pembangunan VI, Dr. Wardiman Djojonegoro.



Hanya formalitas belaka

“Pendidikan seni di sekolah baru sebatas formalitas saja,” ujar Dr. Halilintar Latief. Menurut Koordinator Pendidikan Seni Nusantara (PSN) Sulawesi Selatan ini pelajaran kesenian di sekolah-sekolah pada umumnya belum menyentuh esensi pendidikan seni. Keberadaan mata pelajaran ini baru sebatas formalitas yang signifikansinya hampir tak pernah diperhitungkan.

Minimnya apresiasi terhadap pendidikan seni semacam ini, lanjut Halil, akibat kebijakan pendidikan pemerintah yang hanya berorientasi pembangunan material. Karenanya meski pendidikan seni di sekolah tidak dihapus tapi arahnya sekadar mengacu pada sejauhmana para anak didik bisa pentas di atas panggung.

“Di sekolah-sekolah pendidikan seni hanya mengadopsi estetika Barat. Misalnya banyak anak didik yang tahu Tari Pakarena, tapi mereka tak mengerti benar bagaimana sesungguhnya perempuan Makassar,” ujar budayawan Sulawesi.

Pendapat Halil ini disampaikan kepada Desantara minggu lalu, dan dibenarkan oleh A. Marlia, seorang guru pengajar pelajaran kesenian di SMP 17 Makassar. Menurutnya, pendidikan seni memperoleh perhatian lebih saat dibutuhkan dalam pertunjukan tertentu, sementara aspek apresiasi dan makna sosialnya tak pernah dianggap menjadi bagian penting dalam mata pelajaran tersebut.

Pengakuan senada juga diungkapkan Lukman, seorang guru di sekolah yang sama, bahwa pelajaran kesenian sekedar formalitas belaka. Buktinya guru-guru kesenian sangat kurang. Lebih lanjut, katanya, kadang kala pelajaran kesenian justeru diampu oleh guru mata pelajaran lain.

Kondisi semacam ini terjadi di berbagai sekolah di Sulawesi Selatan. Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, sebagian besar sekolah tidak memiliki guru kesenian yang memadai. Hj. Nurmi, kepala sekolah SD 302 Lattae Bulukumba, malah menuturkan perihal pendidikan seni di sekolahnya yang tanpa arah lantaran tak satu guru kesenian yang mengerti materi yang mereka ajarkan.

”Bagaimana bisa mengerti, di sini tidak ada guru kesenian, kita hanya bergantian saja mengajar,” akunya jujur. Karena itu, lanjutnya, materi kesenian yang diajarkan hanya menyanyi terus. ”Soalnya hanya itu yang mereka tahu,” selorohnya lagi. ”Bahkan menyayi pun kadang nadanya nggak benar,” sambung A.Johrah dan Sahnia, kolega sesama guru di sekolah tersebut.



Perhatian pemerintah nihil

Nihilnya kesadaran pemerintah mengenai arti penting kesenian dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, nampaknya memang layak dikambinghitamkan. Ketiadaan perhatian pemerintah berakibat pada guru-guru kesenian sendiri yang merasa mata pelajaran diampunya hanyalah materi sekunder sifatnya.

Komentar Halilintar Latief berikut ini mungkin semakin membuat hati kita getir. Dosen kesenian di Universitas Negeri Makassar (UNM) ini sempat berseloroh bahwa pendidikan kesenian hanyalah urutan ke-32 dari 32 mata pelajaran di sekolah. “Itu kalau mau dilihat mana yang diprioritaskan, guru-gurunya pun sampai minder,” ujar budayawan ini dengan sedikit bercanda, menuturkan nasib pendidikan seni di sekolah-sekolah di Makassar.

Kenyataan yang teramat getir memang. Namun demikian rasanya kita juga tak perlu gentar menghadapi kegetiran ini. Upaya-upaya keras sekelompok guru, seperti yang tergabung dalam forum Pendidikan Seni Nusantara (PSN) dan forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kesenian yang giat memperjuangkan reformasi kurikulum dan arah pendidikan kesenian di sekolah-sekolah ini, bisa menjadi awal yang menjanjikan.

“Kami berkumpul karena melihat kondisi pendidikan seni di sekolah yang masih memprihatinkan,” ujar Halilintar Latief, yang juga menjabat koordinator PSN Sulawesi Selatan ini. [TIM DESANTARA]

*Dimuat di Harian FAJAR Makassar, 31 Mei 2007. Kerjasama Yayasan DESANTARA dan Harian FAJAR Makassar, Sulsel.

baca selengkapnya......

Tolak RUU BHP, Selamatkan Pendidikan Kita !

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) sudah menginjak pembahasan draft final Desember 2007 lalu. Saat ini pemerintah tengah melakukan proses sosialisasi. Benarkah RUU BHP solusi bagi pendidikan nasional Indonesia?

APA ITU UU BHP?
Undangan Undangan Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) adalah mandat dari pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan harus mendirikan badan hukum pendidikan. Sebagai badan hukum, sekolah atau perguruan tinggi diberikan kewenangan mengurus dirinya sendiri mulai dari urusan akademis hingga keuangan. Dan hal ini berlaku bagi sekolah atau perguruan tinggi berlabel negeri dan swasta.

Alasan pemerintah, UU BHP untuk lebih memajukan kualitas pendidikan Indonesia dengan otonomi (kewenangan) yang diberikan kepada sekolah atau kampus untuk mengurus dirinya sendiri. Pemerintah juga meminta keterlibatan masyarakat untuk membiayai pendidikan terutama dari dunia industri untuk turut mendanai pendidikan?

Lha, bukankah pendidikan itu tanggung jawab Negara? Kenapa bukan anggaran pendidikan 20 persen yang direalisasikan?

KENAPA RUU BHP DIRANCANG?
Kenapa pemerintah merancang UU BHP? UU BHP dirancang tidak terlepas dari kepentingan asing negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund/IMF) tahun 1999, pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat juga menanggung biaya pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/APBD. Akibatnya, sekolah dan kuliah saat ini semakin mahal.

Melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program “Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency (IMHERE)” yang disepakati Juni 2005 dan berakhir pada Juni 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Salah satu dari pelaksanaan kegiatan tersebut adalah “mendukung adanya regulasi kebijakan terkait perguruan tinggi” yang tidak lain adalah RUU BHP. Bank Dunia juga yang menyarankan agar anggaran pendidikan di dalam APBN harus dipangkas dengan alasan menyedot 45 persen dari total APBN yang di dalamnya termasuk anggaran guru dan dosen.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 2001 telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreements on Trade and Services/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (WorldTrade Organization/WTO) yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu jasa komoditas (barang dagangan). Dengan kata lain pendidikan (utamanya pendidikan tinggi) merupakan bisnis dan terbuka bagi investasi baik swasta dan asing.

Adapun skema dari WTO yaitu : 1) cross border supply dimana PT asing menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree programme, 2) consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di PT luar negeri , 3) commercial presence di mana PT asing membentuk partner, subsidary atau twinning arrangement dengan PT local, 4) Presence of natural persons di mana dosen dari PT asing mengajar di PT lokal.

Untuk otonomi perguruan tinggi, bentuk penerapannya telah dilakukan dengan merubah status beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia seperti UI, ITB, IPB, UGM, UPI, USU, Unair dan Undip sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN BHMN) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Kedua peraturan ini lazim disebut sebagai PP 60/61 1999.

Dari penerapan BHMN tersebut, yang sangat mencuat adalah mahalnya biaya pendidikan dan praktek-praktek bisnis secara terbuka. Mulai dari kenaikan biaya SPP, pembukaan jalur khusus hingga cara menjaring investasi dari perusahaan perdagangan ataupun bank untuk menanamkan investasinya ke dalam kampus melalui unit-unit komersial yang didirikan oleh kampus. Sehingga di kampus BHMN, kita tidak hanya menjumpai gedung perkuliahan, tetapi juga akan melihat sponsor sebuah produk, ATM-ATMN hingga toko waralaba seperti alfamart.

Kesimpulan yang bisa kita tarik, UU BHP adalah upaya dari pemerintah dengan pengaruh kepentingan asing kaum imperialis untuk menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan (bisnis) yang nantinya hanya membuat jurang yang semakin mendalam antara miskin dan kaya, karena yang bisa bersekolah hanya mereka yang sanggup membiayai pendidikan yang saat ini semakin mahal.

Kalo pendidikan dijadikan bisnis, apa bedanya kampus dengan perusahaan jasa? Coba tanya ke Rektormu?

PERSOLAAN DALAM UU BHP

Bab Konsideran :
Dalam konsideran menimbang point a disebutkan bahwa dibutuhkan otonomi pendidikan berupa Manajemen Berbasis Sekolah dan Otonomi Perguruan Tinggi dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Kemudian pada point b disebutkan untuk itu semua penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan harus berbentuk badan hukum.

Artinya hal ini semakin menegaskan bahwa memang pemerintah telah melepaskan tanggung jawabnya atas penyelenggaraan pendidikan.

Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1 :
Disebutkan bahwa Badan Hukum ini berlaku bagi penyelenggaran pendidikan yang didirikan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat non pemerintah dari SD hingga perguruan tinggi.

Artinya bagi sekolah dan perguruan tinggi negeri atau swasta akan berstatus sebagai badan hukum. Sementara di dalam ayat 11 disebutkan pendanaan yang dibutuhkan BHP adalah pendanaan untuk kegiatan pendidikan formal. Jika demikian ini seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, kenapa harus melalui BHP?

Pasal 3 :
BHP berdasarkan Manajemen Berbasis Sekolah dan Otonomi Perguruan Tinggi.

Artinya RUU ini melegitimasi praktek seperti yang terjadi dalam kampus BHMN yang mengacu pada otonomi perguruan tinggi negeri.

Pasal 4 (tentang prinsip2 BHP)
ayat 1 :
BHP didasarkan pada prinsip Nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukanlah mencari sisa lebih, sehingga apabila ada sisa lebih dari kegiatan BHP, seluruh hasilnya harus ditanamkan kembali dalam meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan.

Artinya, jika BHP tidak mencari keuntungan tetapi hasil dari sisa lebih bisa digunakan untuk menambah kekayaan ataupun menjaring investasi dengan dalih peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan yang bebannya tentu akan berada di pundak mahasiswa seperti pembukaan jalur khusus, kenaikan biaya SPP dan biaya-biaya operasional pendidikan lainnya.

Ayat 2 :
Point a tentang prinsip otonomi. Disebutkan BHP memiliki otonomi secara akademik dan non akademik.

Untuk akademik sangat memungkingkan untuk dibuatnya aturan-aturan akademik untuk meredam kebebasan mimbar akademik dan kebebasan berorganisasi, mengingat untuk menjaga citra sekolah atau kampus. Karena kampus atau sekolah telah membuka diri bagi investasi, sehingga dia perlu keamanan bagi lancarnya investasi dalam kampus. Hal itu juga dilihatkan dengan pembatasan masa kuliah, pengetatan sistem presensi (75%) untuk nilai, pemadatan jadwal kuliah 5 hari seminggu, tidak boleh ada Semester Pendek (SP), hingga DO bagi mahasiswa yang kritis atau tidak memenuhi beberapa pra syarat akademik. Di beberapa kampus juga saat ini dibuat aturan tentang kode etik, jam malam, larangan bagi organisasi independen (yang sering diistilahkan organisasi ekstra kampus) hingga hanya boleh organisasi yang beraliran politik tertentu yang bolek eksis di dalam kampus.

Untuk non akademik, terutama menyangkut pengelolaan dana. Artinya dengan demikian, sekolah atau kampus bisa dengan sesuka hati menerapkan biaya yang harus dikeluarkan pelajar atau mahasiswa untuk menikmati kesempatan belajar. Dan ini akan semakin meningkatkan praktek-praktek komersialisasi pendidikan. Juga penggunaan fasilitas sekolah atau kampus untuk keperluan komersil seperti penggunaan aula atau auditorium untuk pesta perkawinan dan sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan akademik. Bahkan dalam kenyataan, mahasiswa pun dikenakan beban biaya untuk menggunakan fasilitas kampus.

Dalam point b dan c tentang prinsip akuntabilitas dan transparansi ternyata hanya ditujukan kepada pemangku kepentingan yang disinipun tidak diperjelas. Kemungkinan hal ini hanya berlaku bagi pihak pemerintah dan mereka yang berinvestasi di BHP.

BAB II : Jenis, Bentuk, Pendirian, Pengesahan
Pasal 6 :
BHP terdiri dari BHP Penyelenggara (mengelola lebih dari satu satuan pendidikan formal), BHP Satuan Pendidikan (mengelola satu satuan pendidikan formal) serta BHP Penyelenggara dan Satuan Pendidikan (mengelola lebih dari satu satuan pendidikan berbadan hukum).

Hal ini akan mendorong setiap sekolah dan kampus untuk berlomba-lomba menjadikan sekolahnya sebagai BHP karena menguntungkan dan member ruang bagi adanya praktek-praktek akuisisi atau merger yang mengancam keberadaan kampus-kampus kecil dan sekolah rendahan.

Pasal 7 :
BHP terdiri dari BHPP (pemerintah pusat), BHPPD (pemerintah daerah), BHPM (masyarakat) ayat 1. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa BHPP dan BHPM dapat mengelola satu atau lebih jenis dan jenjang pendidikan. Sementara BHPD hanya untuk PAUD, SD-SMU, pendidikan umum, kejuruan, keagamaan dan atau pendidikan khusus.

Artinya akan timbul kontradiksi antara pemerintah daerah dan pusat terkait pengelolaan BHP masing2. Kemudian untuk perguruan tinggi masih berada dalam wewenang pemerintah, artinya bahwa ini tidak lain untuk menjamin pemasukan bagi pemerintah pusat selain tentunya memberlakukan politik anti rakyat pemerintah terhadap mahasiswa. Dalam ayat 3 untuk pendirian BHPM cukup dengan akte notaris.

Artinya, sangat memudahkan bagi swasta untuk mendirikan BHP. Dengan demikian semakin menegaskan proses privatiasi pendidikan.

Pasal 8 :
Dalam ayat 3 tentang syarat pendirian BHP disebutkan salah satu syaratnya adalah tersedianya kekayaan BHP yang terpisah dari kekayaan pendiri. Artinya, BHP tersebut sebelum disahkan harus punya kekayaan awal dahulu yang bukan milik para pendirinya.

Pertanyaannya, darimana kekayaan awal tersebut akan didapatkan? Manalagi jika bukan dengan memeras uang dari pelajar dan mahasiswa serta upaya-upaya komersil seperti saat ini. Apalagi biaya yang dipisah tersebut harus memenuhi seluruh operasional pendidikan BHP? Kemudian disebutkan pula dalam bahwa harus ada syarat organ pengambil kebijakan umum tertinggi. Secara konkret saat ini, apa yang dimaksudkan organ pengambil kebijakan umum tertinggi adalah Komite/Dewan Sekolah dan Majelis Wali Amanat (MWA).

Pasal 9 :
Dalam ayat 2, pembuatan dan perubahan anggaran dasar BHP dilakukan oleh pendiri. Artinya, segala aturan tentang BHP berada ditangan sepenuhnya di tangan pendiri. Tetapi jika bicara sekolah atau kampus, bukan hanya pengelola saja, tetapi ada guru, murid, dosen, mahasiswa dan para karyawan yang justru menjadi faktor menentukan dalam sekolah atau kampus.

Artinya ini menunjukkan sisi tidak demokratisnya, karena konstituen utama yaitu mahasiswa atau pelajar serta guru atau dosen kurang dilibatkan.

Pasal 12 :
Dalam ayat 1 disebutkan bahwa lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui dinegaranya dapat mendirikan BHP di Indonesia melalui cara bekerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.

Artinya, hal ini membuka peluang bagi masuknya investasi asing dan transformasi budaya imperialis dalam dunia pendidikan Indonesia.

Bab III : Tata Kelola
Pasal 15 (tentang organ penentu kebijakan umum tertinggi)
Dalam ayat 1 dan 2 disebutkan untuk menentukan kebijakan umum tertinggi di BHP dilakukan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi) dan ini merupakan organ tertinggi di BHP. Dalam ayat 3 dan 4 tentang susunannya di dalamnya disebutkan bahwa untuk PAUD, SD-SMU terdiri dari : pendiri atau wakil pendiri, pemimpin satuan pendidikan (kepala sekolah), wakil pendidik, wakil tenaga kependidikan dan wakil komite sekolah/madrasah. Untuk perguruan tinggi terdiri dari : pendiri atau wakil pendiri, wakil organ penentu kebijakan akademik, pemimpin satuan pendidikan, wakil tenaga kependidikan dan wakil masyarakat. sementara unsure lain dapat diperbolehkan tergantung kemauan (ayat 5). Dalam ayat 6, wakil pendiri bisa lebih dari satu orang. Pasal ini sangat diskriminatif karena unsur dari pelajar dan mahasiswa tidak dilibatkan sama sekali sebagai konstituen terbesar. Dan pihak pendiri diperbolehkan memilik wakil lebih.

Artinya kemudian pihak pendiri inilah yang akan sangat banyak mempengaruhi kebijakan umum BHP.

Pasal 16 :
Bahwa wakil diluar pendiri hanya 1/3 dari keseluruhan anggota organ tertinggi pengambil kebijakan umum BHP. Sementara untuk jumlah dan komposisi pimpinan yang mengelola lebih dari satu satuan pendidikan dan wakil komite sekolah/madrasah lebiha lanjut diatur dalam anggaran dasar BHP.

Artinya semakin menegaskan betapa dominannya kedudukan para pendiri.

Pasal 17 :
Ayat 3, disebutkan bahwa ketua organ penentu kebijakan umum tertinggi tidak boleh berasal dari pemimpin satuan pendidikan, wakil organ penentu kebijakan akademik, waki tenaga pendidi/tenaga kependidikan. Juga disebutkan dalam ayat 5 bahwa baik Ketua dan anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi dapat dipilih kembali setelah masa jabatan 5 tahun untuk satu kali masa jabatan.

Lantas siapa lagi yang akan menjabat ketua organ penentu kebijakan umum tertinggi selain wakil dari pendiri? Lantas jika diantara mereka ada yang korupsi apa masih layak dipilih?

Pasal 18 :
Dalam pasal ini diungkapkan tentang wakil pendiri yaitu Gubernur, Bupati atau Walikota untuk BHPD dan Menteri (pendidikan), Menteri Agama, menteri lain dan Kepala lembaga pemerintah non departemen untuk BHPP. Sementara untuk BHPM ditentukan dalam anggaran dasar BHP.

Artinya, intervensi Negara justru menguat dalam menentukan kebijakan di kampus atau sekolah. Kemungkinan kepentingan politik dari pemerintah atas kampus atau sekolah akan sangat mewarnai kebijakan BHP dan itu berarti akan sangat melenceng dari kepentingan dunia pendidikan. Hal dalam kenyataan terjadi terutama dalam pemilihan rekor di kampus2 BHMN, dimana wakil pemerintah sangat berperan penting bagi terpilih atau tidaknya seorang rektor.

Bab IV : Kekayaan
Pasal 31 :
Ayat 1 : Kekayaan BHP berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP
Ayat 2 : kekayaan dan penerimaan pendapatan serta sisa hasil kegiatan BHP adalah milik BHP dan dikelola secara mandiri oleh BHP itu.
Ayat 4 : semua bentuk penerimaan pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP dan BHPD yang diperoleh dari penggunaan kekayaan Negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP dan BHPD, tidak termasuk pendapat Negara bukan pajak.

Artinya, kekayaan pendiri itu harus dikembalikan kepada pengelola BHP. Dan tetap ada pajak yang harus disetorkan BHPP dan BHPD kepada Negara? Pertanyaannya dari mana pajak tersebut didapatkan? Apalagi jika bukan dengan beban biaya kepada pelajar dan mahasiswa serta mengkomersilkan aset-aset kampus.

Bab V : Pendanaan
Pasal 33 :
Ayat 2 : pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan BHP menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Artinya, bahwa pendanaan pendidikan tidak sepenuhnya lagi dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat. Ini bertentangan dengan UUD 1945 bahwa pemerintah berkewajiban atas pendanaan pendidikan (pasal 31 ayat 4)

Pasal 34 :
Dalam pasal ini disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung seluruh pembiayaan pendidikan dasar (operasional pendidikan, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik) sementara untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi hanya 2/3 dana dari pemerintah dan pemerintah daerah. selain itu dalam ayat 4 dianjurkan bahwa peserta didik dapat menanggung biaya pendidikan dengan ketentuan 1/3 dari seluruh biaya operasional. Sementara bantuan yang diberikan dalam bentuk hibah.

Disini jelas terlihat seluruh pembiayaan tidak sepenuhnya di bawah tanggung jawab pemerintah, bahkan pemerintah pun harus menanggung biaya investasi. Suatu hal yang aneh tentunya? Dan apakah hibah itu gratis?

Pasal 35 :
Dalam pasal ini BHP dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum. Artinya, BHP bisa mendirikan unit-unit usaha komersil seperti yang ada dalam kampus BHMN guna mendapatkan pendapatan BHP.

Artinya ini menghilangkan esensi utama lembaga pendidikan, karena juga melakukan praktek bisnis.

Pasal 36 :
Dalam pasal ini disebutkan bahwa pemerintah juga menanggung biaya untuk BHPM sebagaimana dalam pasal 34.

Pertanyaannya, kenapa tidak dioptimalkan dana pemerintah untuk mendirikan sekolah dan kampus negeri dan bukan sebaliknya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta, karena keuntungan yang akan diperoleh swasta bisa berlebih karena juga mengelola secara sendiri selain bantuan dari pemerintah.

Pasal 37 :
Dalam pasal ini disebutkan bahwa masyarakat dapat memberikan dana pendidikan untuk biaya investasi, biaya operasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan (ayat 1) dengan berbagai bentuk seperti sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan dan penerimaan lain yang sah (ayat 2) dan untuk itu pemerintah dan pemerintah daerah akan memberikan kemudahan atau insentif pajak (ayat 3).

Pasal ini sesungguhnya memberikan kelonggaran bagi investasi di dalam dunia pendidikan dan semakin menegaskan tidak bertanggungjawabnya pemerintah dalam membiayai pendidikan. Membuka diri untuk investasi berarti menyatukan dunia pendidikan untuk kepentingan kaum imperialis mengeruk untuk dari investasi baik modal yang harus dikembalikan hingga pada penguasaan terhadap hak atas kekayaan intelektual.

Itulah beberapa persoalan yang tercantum dalam perumusan RUU BHP. Secara jelas telah memberikan pemaparan pendidikan dan institusi pendidikan tidak ubahnya lagi dengan sebuah perusahaan jasa.

KESIMPULAN
Dari pembedahan atas kandungan RUU BHP, bisa didapatkan beberapa kesimpulan penting yaitu :

1. Privatisasi Pendidikan
UU BHP secara jelas menegaskan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama masyarakat yang secara konkret dengan adanya otonomi pendidkan untuk mengelola kurikukulum hingga soal pendanaan. Karena proses investasi juga dijamin dalam RUU BHP, termasuk investasi dari asing. Terbukti bahwa untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi pemerintah hanya menanggung 2/3 dananya. Parahnya, ini berlaku untuk TK hingga Perguruan Tinggi.

2. Komersialisasi Pendidikan
Dengan kesempatan pengelolaan pendidikan secara otonom, membuka kesempatan bagi sekolah atau perguruan tinggi untuk menerapkan caranya sendiri-sendiri dalam mengeruk pendanaan, seperti kenaikan biaya SPP, pemberlakuan jalur khusus, pungli, pendirian unit-unit komersil, hingga komersialisasi atas aset2 kampus (aula, sarana olahraga, dsb).

3. Perubahan Orientasi Pendidikan
Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi institusi pencerdasan bangsa, tetapi berubah menjadi perusahaan jasa karena lebih mengedepankan aspek pencarian keuntungan dibandingkan menata kualitas pendidikan.

4. Tidak Ada Demokratisasi
Kedudukan organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP yang menentukan segalanya, terutama oleh pendiri telah mengancam proses demokratisasi apalagi dia memiliki prosentase lebih besar di dalamnya. Sementara pelajar/orang tua wali dan mahasiswa tidak dilibatkan sama sekali dalam organ ini, tetapi harus menjalankan kebijakan yang ditentukan.

5. Ancaman Kesejahteraan bagi Guru, Dosen dan Karyawan
Guru, dosen dan karyawan terancam karena harus melakukan perjanjian kerja untuk bekerja di BHP yang sesuai dengan AD/ART BHP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


TOLAK UU BHP, SELAMATKAN PENDIDIKAN KITA!
Berdasarkan penyimpulan di atas, maka UU BHP ini harus ditolak karena tidak akan menjadi jawaban bagi bobroknya sistem pendidikan nasional saat ini. UU BHP ini justru terus membawa dunia pendidikan Indonesia ke jurang kehancurannya. Dan kenyataan saat ini dimana banyak kampus yang terus mempersiapkan menuju BHP memperlihatkan kondisi kampus yang semakin mahal biayanya, demokratisasi dipasung dan lain sebagainya. Harus ada upaya-upaya secara serius untuk menyikapi hal ini, terutama dari mahasiswa yang akan sangat merasaka imbasnya.

baca selengkapnya......

Jumat, 10 Juli 2009

Matematika, musik dan kecerdasan

Berdasarkan pengamatan pada sejumlah anak, para peneliti dari Universitas California menyimpulkan bahwa belajar musik pada usia dini dapat meningkatkan kecerdasan (baca: kemampuan bernalar dan berpikir) dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini begitu menarik perhatian sehingga buku The Mozart
Effect karangan Don Campbell (1997), majalah Intisari (Februari 1997), harian London Sunday Times (Oktober 1997), dan terakhir majalah D & R (No. 12/XXIX/8, November 1997) merasa tergugah untuk menginformasikan kepada masyarakat.
Hasil penelitian tersebut memang pantas untuk disimak, walaupun seperti dikemukakan oleh musisi Suka Hardjana kepada majalah D & R bahwa hal itu sebenarnya sudah lama diketahui orang. Melalui tulisan ini, izikanlah saya untuk menyampaikan pandangan saya mengenai hasil penelitian tersebut dan mengaitkannya dengan peranan matematika dalam meningkatkan kecerdasan seseorang.
Hal pertama yang menarik untuk dicatat adalah bahwa hasil penelitian tersebut diperoleh secara objektif oleh Gordon Shaw dkk yang notabene adalah fisikawan, bukan oleh para musisi. Bila seorang musisi yang menyatakan bahwa musik itu perlu dipelajari karena bisa meningkatkan kecerdasan, orang mungkin tidak akan percaya begitu saja, karena pernyataan tersebut dapat dinilai subjektif.
Demikian pula halnya bila seorang matematikawan mengatakan bahwa matematika itu penting dan karenanya perlu dipelajari, orang mungkin akan bereaksi, "O, ya?" dengan nada tidak percaya. Namun ketika seorang musisi seperti Suka Hardjana menyatakan bahwa seseorang yang bermain musik sesungguhnya sedang bermatematika dan seluruh susunan syaraf otaknya bekerja, Anda baru sadar bahwa matematika (setidaknya melalui musik) melatih otak kita bernalar dan berpikir, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kecerdasan.
Matematika dan musik memang sudah "bersaudara" sejak zaman Yunani Kuno. Pythagoras (580-500 SM) seorang filsuf dan matematikawan terkenal pada zaman Yunani Kuno bersama para muridnya menemukan bahwa harmoni dalam musik berkorespondensi dengan perbandingan dua buah bilangan bulat. Bila kita mempunyai dua utas kawat yang diregangkan dengan ketegangan yang sama, maka perbandingan panjang kedua utas kawat tadi mestilah 2: 1 untuk menghasilkan nada keenam (not yang sama pada oktaf berikutnya); 3: 2 untuk nada kelima, dan 4: 3 untuk nada keempat.
Sebagaimana dikemukan oleh Aristoteles (384-322 SM), Pythagoras dan para muridnya mempercayai bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh interval musik dan sehubungan dengan itu mereka juga mempercayai bahwa all is number. Bagi mereka, perbandingan dasar dalam musik yang terdiri atas bilangan 1, 2, 3, 4, yang berjumlah 10 (yang merupakan basis sistem bilangan yang kita pakai sekarang), adalah suci, dan musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori dalam sains: aritmatika, geometri, musik, dan astronomi. Pada masa Plato (guru Aristoteles), matematika dan musik tidak hanya menjadi kriteria bagi orang cerdas tetapi juga bagi orang terdidik.
Satu hal yang menarik dan penting untuk dicatat mengenai kehidupan Pythagoras dan para muridnya pada zaman itu ialah kehausan mereka untuk mempelajari matematika dan filsafat sebagai basis moral. Pythagoras sendiri diyakini telah mengawinkan kedua kata tersebut: filsafat (love of wisdom) dan matematika (that which is learned). Pythagoras jugalah orangnya yang telah mentransformasikan matematika menjadi suatu bentuk pendidikan yang liberal.
Pada abad pertengahan dan zaman Renaisance, matematika dan musik kembali mendapat tempat yang terhormat di sekolah-sekolah di Eropa. Pada masa itu, aritmatika, geometrika, musik, astronomi, tata bahasa, dialektika (logika), dan retorika merupakan the seven liberal arts. Namun semua itu kini tinggal sejarah, lain dulu lain sekarang.
Musik, walaupun demikian, masih dapat dikatakan bernasib baik bila dibandingkan dengan matematika. Setidaknya orang hampir tidak pernah bertanya, "Apa gunanya musik?" setelah ia mendengarkan Mozart, misalnya. Matematika, sementara itu, lebih sering dianggap sebagai momok, dan orang pun semakin sering bertanya, "Apa gunanya matematika?"
Di negara kita, situasinya lebih parah lagi; di samping apresiasi masyarakat terhadap matematika masih sangat rendah, pengajaran matematika di sekolah pun masih bermasalah. Padahal, pada zaman yang semakin bergantung kepada teknologi menyongsong era globalisasi, bagaimana kita dapat bersaing apabila kita tidak menguasai teknologi? Bagaimana kita dapat menciptakan teknologi sendiri apabila kita tidak cukup menguasai matematika dan sains, yang notabene merupakan cara bernalar dan berpikir serta bahasa untuk memahami alam semesta ini?
Kunci jawaban untuk semua pertanyaan ini jelas ada di sekolah. Suka Hardjana secara tegas mengatakan bahwa kurikulum pendidikan musik di negara kita harus diperbaiki, bahkan bila mungkin diubah total. Menurutnya, pendidikan musik itu bukan hanya belajar bernyanyi. Bila hanya dipakai sebagai hiburan, musik bukannya mempercerdas tetapi malah dapat memperbodoh kita.
Seiring dengan itu, kurikulum matematika SD, SLTP, dan SLTA, yang selama ini sering dikeluhkan oleh para orang tua murid dan juga guru di lapangan, tentunya perlu pula ditinjau kembali dan dibenahi. Matematika bukan sekedar berhitung secara mekanis dan prosedural (menggunakan otak kiri), tetapi juga bernalar dan berpikir secara kreatif dan inovatif dalam upaya memecahkan berbagai masalah dan membuat segala sesuatu lebih baik (menggunakan otak kanan).
Kurikulum yang terlalu berat ke fungsi otak kiri dan mematikan kreatifitas dan daya inovasi murid, dan karenanya sulit diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan mereka. Demi meningkatkan kemampuan berpikir siswa, keseimbangan fungsi otak kiri dan otak kanan perlu mendapat perhatian yang serius dalam penyusunan kurikulum matematika (dan juga mata pelajaran lainnya) pada masa yang akan datang.


baca selengkapnya......

Pendidikan musik?....Pentingkah?

"Buat apa kamu belajar musik, sudah aja kamu belajar matematika atau fisika, biar kamu jadi anak pintar." "ah, bu saya nyuruh anak saya les musik biar dia ada kesibukan aja, dari pada dia main gak karuan."
Pernahkah Anda mendengar kedua kalimat di atas atau bahkan Anda sendiri yang pernah mengalaminya?

Kita mungkin menyadari bahwa memang pendidikan musik sampai saat ini masih menjadi sesuatu hal yang baru bagi kita yang hidup di Negri tercinta ini. Bagi sebagian masyarakat dan para pemangku kebijakan, musik bukan merupakan sesuatu hal yang penting, musik hanyalah sebagai hiburan, musik hanyalah pengisi waktu bagi anak-anak. Musik tidak akan memberikan kontribusi untuk kehidupan masa datang, musik tidak akan memberikan sesuatu profesi yang menjanjikan. Bahkan dilingkungan sekolah pun masih banyak yang menganggap bahwa musik bukan suatu mata pelajaran yang begitu penting, betulkah?
Banyak guru dan orang tua anak baik itu yang belajar disekolah formal ataupun informal yang memandang sebelah mata tentang pendidikan musik. Sehingga apabila anaknya memiliki kekurangan pada mata pelajaran tertentu, maka orang tua menganggap anaknya "kurang pandai", tetapi apabila anak memiliki nilai bagus pada mata pelajaran seni baik itu seni musik, seni rupa atau seni tari, orang tua menganggap hal tersebut bukan yang luar biasa, padahal anak tersebut mempunyai potensi dalam mata pelajaran tersebut yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Nah, disinilah perlunya kesadaran guru dan orang tua untuk mengetahui potensi apa yang terdapat pada anak-anaknya.

Hal yang sama terjadi pada sekolah informal, misalnya kursus musik. Karena anggapan awalnya para orang tua mengkursuskan anaknya hanya untuk mengisi waktu luang saja, maka pengawasan dirumah pun tidak serius, misalnya mengatur jam latihan atau meminta dan mengawasi anaknya untuk berlatih. Kenapa harus orang tua? Karena waktu terbanyak adalah di rumah dalam hal ini orang tualah yang mempunyai waktu terbanyak untuk mengawasi anaknya, guru les hanya bertemu 40-60 menit saja dalam seminggu. Kerjasama orang tua dengan guru les sangat ditekankan dalam hal ini apabila ingin mencapai kesuksesan dalam pendidikan musik.

Berbicara mengenai mata pelajaran di sekolah, pada kurikulum 2007, terdapat sejumlah mata pelajaran yang salah satunya mata pelajaran Seni dan Budaya. Jika diamati uraian bahasannya, mata pelajaran Seni dan Budaya ini terdiri atas bahan ajaran pendidikan seni rupa, seni musik, seni tari dan seni teater.

Mata pelajaran ini disajikan mulai dari kelas 1 SD sampai dengan kelas III SMA, dengan alokasi waktu mungkin sekitar 2 jam pelajaran setiap minggu. Ya, hanya 2 jam saja pelajaran seni diberikan di sekolah. Dengan alokasi waktu yang disediakan dan bahan ajar yang beragam, pada umumnya para guru tidak dapat menyelenggarakan pembelajaran sebagaimana mestinya. Apalagi kalau di sekolah tersebut hanya terdapat guru seni musik saja, maka nyaris pelajaran seni yang lain akan ditinggalkan. Disamping itu, ada diantara mereka yang berpendapat bahwa pendidikan musik merupakan pelajaran yang tidak penting, sangat disayangkan dengan pendapat itu. Alasannya karena mata pelajaran pendidikan musik tidak di-UAN-kan.

Padahal apabila ditelaah lebih lanjut, menurut para ahli, pendidikan musik merupakan sarana yang paling efektif bagi pendidikan kreativitas. Pendidikan musik juga dapat menjadi sarana pendidikan afektif untuk menyalurkan emosi dan ekspresi anak. Selain itu, pendidikan musik dapat menjadi pendidikan keterampilan. Jadi secara konseptual, pendidikan musik sangat besar peranannya bagi proses perkembangan anak, terutama di Sekolah Dasar.

Sebagai materi pembelajaran, mata pelajaran Seni dan Budaya perlu di pahami guru, mau dibawa kemana anak didik kita sehingga tercapai arah yang tepat. Eisner (1972) dan Chapman (1978) mengatakan bahwa, arah atau pendekatan seni baik itu seni rupa, seni musik, seni tari ataupun seni teater, secara umum dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yakni seni dalam pendidikan dan pendidikan melalui seni.

Pertama, seni dalam pendidikan. Secara hakiki materi seni penting diberikan kepada anak. Maksudnya adalah, keahlian melukis, menggambar, menyanyi, menari, memainkan musik dan keterampilan lainnya perlu ditanamkan kepada anak dalam rangka pengembangan kesenian dan pelestarian kesenian. Seni dalam pendidikan ini sejalan dengan konsep pendidikan yaitu sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya (baca: guru kepada murid). Oleh sebab itu, seni dalam pendidikan merupakan upaya kita sebagai pendidik seni dan juga lembaga yang menaungi kita untuk mewariskan, melestarikan, dan mengembangkan berbagai jenis kesenian yang ada baik lokal maupun mancanegara.

Sangat beragam sekali kesenian yang berkembang di Indonesia ini. Dari mulai kesenian tradisional sampai pada kesenian modern, banyak terhampar di depan mata kita. Misalnya batik, ukiran, anyaman, lukisan, pupuh sunda, gamelan, kecapi, biola, piano, tari tayub dan tari bedaya, balet sampai pada berbagai jenis seni kontemporer. Dari kekayaan tersebut apabila tidak diwariskan kepada anak melalui jalur pendidikan maka kita akan menunggu saatnya kesenian tersebut akan dijauhi oleh anak kita.

Dari uraian di atas, maka seni dalam pendidikan merupakan sebuah program yang mengharapkan siswa pandai dalam bidang seni. Pandai menggambar, pintar menyanyi, terampil dalam menari, pandai memainkan alat musik dan sebagainya. Memang terasa sangat sulit sekali apabila diterapkan pada sekolah umum, karena harus mempertimbangkan kualifikasi guru terhadap bidang seni tertentu, waktu yang cukup, dan sarana- prasarana yang memadai. Tetapi bagi orang tua yang ingin anaknya terampil dalam bidang seni tertentu jangan khawatir, sudah banyak terhampar di depan mata kita sanggar-sanggar, kursus musik, kursus menggambar dan sebagainya, untuk kita pergunakan seoptimal mungkin bagi perkembangan anak kita.

Kedua, pendidikan melalui seni. Plato menyatakan bahwa seni seharusnya menjadi dasar pendidikan. Dari pendapat ini kita bisa beranggapan bahwa sesungguhnya seni atau pendidikan seni mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pendidikan secara umum.

Konsep pendidikan melalui seni juga dikemukan oleh Dewey bahwa seni seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan bukannya untuk kepentingan seni itu sendiri. Maka melalui pendidikan melalui seni tercapai tujuan pendidikan yaitu keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis.

Merujuk pada konsep pendidikan melalui seni, maka pelaksanaannya lebih ditekankan pada proses pembelajaran dari pada produk. Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka sasaran belajar pendidikan seni tidak mengharapkan siswa pandai menyanyi, pandai memainkan alat musik, pandai menggambar dan terampil menari. Melainkan sebagai sarana ekspresi, imajinasi dan berkreativitas untuk menumbuhkan keseimbangan rasional dan emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Kalau memang ternyata melalui pendidikan seni dapat menghasilkan seorang seniman maka itu merupakan dampak saja.

Dengan penekanan pada proses pembelajaran, maka guru pun dapat melaksanakannya. Kekurangan kemampuan guru dalam hal pendidikan seni dapat ditutup dengan penggunaan berbagai media pembelajaran yang memadai. Seperti yang telah dipaparkan di atas, pendidikan musik khususnya banyak sekali memberikan kontribusi bagi perkembangan dan keseimbangan rasional, emosional, intelektual dan kesadaran estetis. Banyak sekali hasil penelitian yang memberikan informasi kepada kita tentang pentingnya pendidikan seni khususnya musik bagi perkembangan anak, berikut beberapa hasil penelitian yang penulis rangkum dari Bulletin of the Council for Research in Music Education, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pendidikan musik/pendidikan seni, memudahkan perkembangan anak dalam bahasa dan kecepatan membaca.

Aktivitas bermusik/berkesenian sangat bernilai bagi pengalaman anak dalam berekspresi dan lain-lain.

Aktivitas bermusik/berkesenian membantu perkembangan sikap positif terhadap sekolah dan mengurangi tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah.

Keterlibatan dalam kegiatan bermusik/berkesenian secara langsung mempertinggi perkembangan kreativitas.

Pendidikan musik/pendidikan seni memudahkan perkembangan sosial, penyesuian diri, dan perkembangan intelektual.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, ternyata pendidikan musik sangat penting untuk perkembangan anak di masa depan. Pendidikan musik tidak lagi sebagai mata pelajaran tambahan yang sewaktu-waktu bisa saja dihilangkan atau hanya sekedar pengisi waktu luang bagi anak-anak yang kursus musik. Bukankah pendidikan itu merupakan sesuatu hal yang penting untuk menolong siswa dalam mengembangkan intelektual, emosional dan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka? Hal ini merupakan tugas para guru dan orang tua untuk mewujudkan hal tersebut. Maka pendidikan musik/pendidikan seni adalah bagian penting dan efektif untuk mewujudkan hal tersebut, walaupun sampai saat ini masih diragukan dan dikesampingkan.


baca selengkapnya......

unek-unek